Pilpres yang Menguras Emosi*

Seorang supir taxi mengelak pertanyaan saya soal pilihannya pada pemilu presiden 2014. “Saya ragu mau jawab mas, soalnya pernah dimarahin penumpang karena berbeda pilihan” katanya.

Dia cerita ada dua orang penumpang yang menanyakan siapa yang dia pilih di pilpres, Jokowi atau Prabowo. Ketika si supir menjawab, penumpang tadi malah memojokannya. Mereka berdebat. sampai salahsatu penumpang bilang, “Lu supir taxi, tahu apa sih soal politik”

“Saya jadi bingung mas, mereka yang tanya saya sudah jawab, eh mereka malah marah-marah”

Sejak itu si Supir jadi ragu untuk menjawab pertanyaan penumpang soal pilpres. “Kalau ngobrol, masalah yang lain aja deh”

Pemilu Presiden 2014 mungkin memang pemilu yang paling diikuti masyarakat dengan antusias sekaligus paling menguras emosi masyarakat. Sepanjang ingatan saya ikut tiga kali pemilu legislatif dan dua kali pemilu presiden serta beberapa pemilu lokal, belum pernah ada yang polarisasinya seperti pemilu presiden 2014 ini.

Masyarakat seolah terbelah tajam ke dalam dua kubu. Pembicaraannya di sosial media, pun dalam percakapan langsung bisa menimbulkan ketegangan. Bahkan di sosial media, gara-gara pilpres ini antar teman saling memaki. Menghina, dan terakhir memutuskan kontak.

Di pemilu sebelumnya seingat saya tidak seperti ini. Pada 2009, di sosial media (paling tidak di wall Facebook saya), pemilu hanya dibicarakan selintas saja. Yang ngomong pun biasanya orangnya itu-itu saja, kebanyakan teman-teman wartawan juga. Tapi di pemilu 2014 ini, wall Facebook, timeline twitter seperti jalan raya yang berjejer poster dan spanduk kampanye. Semua orang seolah jadi juru kampanye. Semua orang seperti jadi pengamat politik. Meme-meme lucu, positif, negatif, menghina, ada semua. Melukiskan kreatifitas yang gak habis-habisnya. Itu membuat saya berpikir, sejauh ini, pilpres 2014 menjadi yang paling menarik yang darinya kita bisa belajar banyak soal kampanye dan perilaku masyarakat.

Banyak analisis mengatakan pemilu presiden kali ini menarik karena hanya ada dua pasang calon. Saya kurang sepakat, di pemilu kepala daerah pun sering calon yang bersaing cuma dua, di pemilu presiden 2004, pemilu putaran kedua pun hanya ada dua calon Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla versus Megawati- Hasyim Muzadi, tetapi dinamika di masyarakat rasanya tidak seperti sekarang.

Mungkin yang membuat pemilu kali ini ketegangannya lebih intens, karena dua tokoh yang dianggap mewakili dua karakter berbeda. Perbedaan ini juga membelah mimpi masyarakat kepada dua ideal kepemimpinan.

Guru Besar Politik Universitas Diponegoro Fahri Ali melukiskan Prabowo dianggap memenuhi bayangan orang soal pemimpin yang tegas, berani dan cerdas. Dia akan mengembalikan harga diri bangsa yang selama ini dipersepsikan sering diinjak-injak bangsa lain. Prabowo sendiri memang sejak semula mencitrakan dirinya seperti itu, misalnya dengan iklan politiknya sejak tahun 2004 sebagai ketua HKTI. Masih ingat saya,nada suara Prabowo Subianto di layar kaca yang melukiskan ketegasan saat mengatakan “Saya Prabowo Subianto…” Ketegasan dan keberaniannya juga misalnya ditunjukan dengan gaya berpakaian yang sekilas meniru presiden pertama RI Soekarno, yang memang terkenal berani apalagi dengan ungkapannya “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”

Sementara Joko Widodo memang tidak segagah Prabowo Subianto. Dalam penampilan fisik juga tidak ingin memberikan kesan kekuatan dan ketegasan seperti Soekarno. Dia berdandan seperti orang kebanyakan. Dengan badan kurus, celana bahan, baju kotak-kotak dan sepatu kets, dia Seperti pegawai rendahan di perusahaan. Seperti guru di sekolah swasta, seperti petani yang mau ke ondangan, seperti tetangga di rumah kita yang setiap pagi mau berangkat kerja. Tapi justru di situlah orang menyukainya. Karena dia memang seperti kita. Formula yang kemudian dipakai untuk mendefinisikan Jokowi adalah merakyat. Sisi-sisi kesederhanaan inilah yang kemudian dikapitalisasi tim dan relawan Jokowi, mengubek-ubek emosional masyarakat dengan citra pemimpin merakyat dan sederhana.

Para pendukung Jokowi juga mendefinisikan dualisme Prabowo dan Jokowi sebagai kekuatan lama orde baru yang mengekang dan otoriter melawan kekuatan baru di mana rakyat yang punya kuasa. Pendukung Prabowo juga sepertinya meyakini alur orde baru tersebut, namun mereka menyempurnakannya. Mereka tidak melihat orba dari sisi penindasan hak orang untuk berpendapat, atau kekejaman rezim, tapi dari sisi ketrentaman dan kestabilan politik di era orde baru. Nah Prabowo diimaginasikan sebagai pemimpin yang akan menyempurnakan kebaikan-kebaikan orde baru.

Menurut saya polarisasi yang tercipta di masyarakat sehingga menimbulkan situasi yang emosional ketika membahas pilihan capres, akibat ekspektasi yang berlebihan kepada kedua calon pemimpin. Jokowi dengan kesederhanaanya diharapkan menjadi pemimpin yang juga peka terhadap penderitaan rakyat. Karena masyarakat sudah frustasi dengan pemimpin-pemimpin politik yang berjarak dengan rakyat, yang telinganya kedap jeritan rakyat karena terhalang jendela hitam mobil mewah, yang korupsi, plesiran, berzinah dan tidak dengar apa-apa.

Prabowo mewakili kepemimpinan politik yang tegas, galak, berani, karena masyarakat juga sudah muak dengan korupsi yang tidak pernah hilang. Hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Kampanye Hitam

Tim sukses masing-masing mengeksploitasi citra-citra ini, berebut wacana publik. Tapi repotnya, bukan itu saja tim kampanye juga saling melakukan strategi fitnah, memfitnah untuk membusukan karakter calon yang lain.

Fitnah dan pembusukan karakter inilah yang paling banyak saya temukan di sosial media (setidaknya di wall facebook dan timeline saya). Banyak sekali isi dan bentuknya, dan sayangnya saya prihatin sekali karena banyak teman-teman yang saya kira dari kalangan terdidik, ikut menyebarluaskannya. Mungkin karena terlampau semangat atau saking fanatiknya, mereka begitu saja menyebarkan kebohongan tanpa klarifikasi fakta-faktanya atau minimal kalau sulit menceknya, memeriksanya dulu dengan akal sehat.

Begitu banyak kebohongan yang beredar membuat saya takjub. Memang ada tangan-tangan kotor di kedua kubu yang bertugas memanipulasi informasi, memainkan kesadaran masyarakat, memporak-porandakan apa yang diketahui masyarakat. Menipu.

Tangan-tangan ini memanfaatkan media massa, cetak maupun elektronik. Memborbardir masyarakat dengan informasi-informasi salah agar kemudian menjadi kebenaran. Saya jadi ingat kata-kata yang konon milik Hitler. “Kebohongan yang terus menerus diucapkan lambat laun akan menjadi kebenaran”

Buya Syafii Maarif mengatakan di kampungnya, Sumatera Barat, banyak yang percaya Jokowi adalah non muslim. Temen-temen saya banyak yang percaya Prabowo gak punya titit karena dipotong fretelin waktu perang di timtim. Padahal mereka gak pernah ada yang pernah meraba selangkangannya.

Macam-macam berita konyol beredar dan gilanya yang menyebarkan temen-temen sendiri, yang menurut saya (seharusnya) terdidik. Mereka kirim link dari situs-situs berita gak jelas, narsum-narsum anonim atau yang kredibilitasnya meragukan, akun-akun anonim yang Kualitas informasinya payah.

Beberapa kali sebuah kabar sudah terbukti kebohongannya, misalnya foto surat suara yang tidak ada foto Jokowi-JK. Kesan yang ditimbulkan, penyelenggara pemilu curang, berpihak pada Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Belakangan diketahui, foto tersebut palsu, hanya hasil rekayasa gambar.

Kemudian ada juga foto Jokowi lagi umroh, yang katanya pake irham kebalik. Belakangan diketahui itu juga hasil rekayasa. Terus ada foto tim sukses Prabowo bagi-bagi nasi bungkus berisi uang Rp 50 ribu. Setelah diselidiki ternyata gak benar, karena foto uang di dekat kotak nasi ternyata gambar tempelan. Ckckc..

Meski udah banyak kejadian tipu menipu lewat gambar, temen-temen yang seharusnya pintar menimbang informasi ini tetap saja ikut share.

Di kampanye kali ini juga saya sedih melihat jatuhnya kredibilitas media, kredibilitas jurnalistik. Orang lebih banyak mempercayai akun-akun anonim di medsos. Kepercayaan terhadap pers mainstream yang kerja pake standar jurnalistik yang lebih baik, turun. Pers umum dianggap sudah tercemar. Tudingan ini tidak lepas dari kenyataan bahwa memang banyak institusi pers yang sudah jadi media propaganda.

Saya benci kampanye hitam, karena itu membodohi dan merusak. Tapi saya belakangan jadi realistis juga, kampanye model begini gak bakal hilang. Di Amerika Serikat saja yang demokrasinya maju, rakyat lebih makmur, masih ada kampanye hitam. Presiden Barack Obama pernah diserang kampanye hitam bahwa dia muslim, tujuannya untuk mengungkit-ngungkit sentimen anti muslim di Amerika.

Kampanye hitam tetap dilakukan karena memang ada pasarnya, yaitu orang-orang yang malas mikir, gak kritis sama informasi. Orang-orang terdidik juga banyak yang begini, terutama mereka yang gandrung sama teori konspirasi. Disuapin apapun yang berbau konspirasi, langsung percaya.

Karena kampanye hitam bakal terus ada, jadi saya pikir seperti menggantang angin menyerukan tim sukses dan politisi-politisi itu untuk berhenti. Di atas panggung mereka pasti ngomong yang manis-manis soal program dan visi misi. Tetapi begitu turun, ngerencanain perbuatan-perbuatan nista.

Saya, tak tahu dapat ilham dari mana, tapi percaya sama kekuatan rakyat. Orang boleh berkampanye yang macam-macam, tapi tidak akan mempan di dalam masyarakat yang semakin dewasa berpolitik. Masyarakat yang cerdas, bakal memaksa politisi lebih cerdas lagi. Masyarakat yang cerdas, akan melahirkan pemimpin yang bagus juga.Dengan sendirinya masyarakat yang dewasa berpolitik, akan menjadi kekuatan yang memaksa pemerintah bekerja efektif. (vd)

*ditulis 8 Juli 2014. Sehari sebelum pemungutan suara pilpres 2014

Tinggalkan komentar