Sinar Harapan Belum Sirna Harapan

Raden Saleh- Juli 2010 menjadi bulan yang penuh penghargaan buat koran Sinar Harapan. Setelah pekan lalu SH membawa pulang tiga nominasi dan satu penghargaan jurnalistik Hoesni Thamrin Award, Kamis (23/7) kemarin satu lagi penghargaan didapat.


Kali ini benar-benar kakap dan bergengsi. Fotografer Septiawan berhasil memenangkan penghargaan jurnalistik Mochtar Lubis Award 2010. Sebuah gambar hasil jepretannya saat peristiwa kerusuhan di Makam Mbah Priok, Jakarta Utara April lalu, mengesankan para juri.

Dia meraih juara bersama Hariyanto fotografer Media Indonesia yang mengambil gambar mengenai lumpur Lapindo. Masing-masing mereka berhak mendapat hadiah Rp 50 juta.


Saya mengucapkan selamat kepada Septiawan melalui acount facebook-nya. Kepada kawan yang biasa dipanggil Iwan itu, saya menulis, “Kau membuat kami bangga”


Deytri kebetulan berada di samping, sambil tersenyum berkata kepada saya. “Nggak bosen apa kasih selamat melulu, sekali-sekali menerima selamat dong” (duh Deytri mentang-mentang dapat nominasi, tunggu pembalasanku say!) hehehe.

Wajar jika kebanggan membuncah. Saya malah berpikir bahwa Iwan dan juga rekan-rekan lain yang menerima nominasi dan penghargaan harus mendapat apresiasi khusus dari kantor.

Mereka telah mengharumkan nama koran ini. Mereka berhasil memenangkan award bergengsi. Menyisihkan jurnalis dari berbagai media massa besar. Karya Iwan misalnya, mengalahkan sekitar 60 foto lainnya yang ikut lomba. Sementara pada Hoesni Thamrin Award 2010, Sinar Harapan boleh dibilang jadi juara umum, karena menyabet hadiah paling banyak.

Di tengah ketatnya persaingan industri media, seluruh keluarga Sinar Harapan patut bersyukyur. Secarabisnis, SH bukan lagi koran paling top. Pada era 1960- sampai 1980-an awal SH memang market leader, tetapi sekarang sudah jauh dari koran-koran lain. Harus diakui, SH bukan lagi pilihan utama pengiklan. Sebagian besar kue iklan jatuh ke stasiun-stasiun televisi. Hanya sekitar 26 persen yang jatuh ke media cetak. SH berebut dengan sekitar 828 surat kabar seluruh Indonesia untuk mendapat remah-remah kue iklan yang sudah lebih dulu di santap stasiun televisi dan Kompas.

Secara inovasi, juga SH tertinggal. Koran-koran mainsteram lain, seperti Tempo, Kompas, Media Indonesia, bahkan koran baru Jurnal Nasional sudah aktif mengembangkan onlinennya. Sementara SH online boleh dibilang masih acak-acakan. Sebagain besar berita diambil dari kantor berita Antara. Bahkan untuk mengakses berita SH yang terbit bulan lalu pun sulit bukan main.

Bayangkan saja, aku sudah pernah mencari semua berita SH yang masuk nominasi Hoesni Thamrin Award 2010, di http://www.sinarharapan.co.id tapi hasilnya nihil. Sampai sekarang, aku nggak tahu seperti apa rupanya tulisan Deytri, Amel dan Syaiful yang diganjar hadiah tersebut. Bahkan Deytri sendiri tidak tahu. “Aku sudah lupa tulisannya yang mana,” katanya.

Belum lagi bila berbicara masalah sensitif, tetapi sangat penting, yaitu gaji wartawan. Tidak usah disebutkan berapa gaji wartawan SH. Tapi aku tahu (dari hasil tanya-tanya teman) standar gaji wartawan di media mainstream lain, masih lebih baik dari SH. Wartawan SH juga tidak bisa mendapat beberapa fasilitas kerja yang didapat wartawan koran lain.

Namun, di tengah keterbatasan tersebut masih ada yang bisa berprestasi. Masih ada yang mampu membuat SH unjuk gigi. Mampu memberi kebanggan, sehingga SH tidak akan dipandang sebelah mata. Bayangkan saja, kalau tidak ada keterbatasan, atau minimal punya fasilitas yang sama dengan kebanyakan wartawan koran lain. (vd)

2 respons untuk ‘Sinar Harapan Belum Sirna Harapan

  1. Masih ada harapan di SH. Keren euyyy bisa masuk nominasi dan ada yang dapet penghargaan juga 🙂
    *siapin CV dan surat lamaran*
    hahahaaa…

Tinggalkan komentar